Tuesday, December 21, 2010

Ibu

(diambil dari twitter @zarryhendrik pukul 07.30-08.30)

Waktu aku belum tertidur, aku merasakannya masuk ke dalam kamar dan menyelimutiku. Ia ingin tidurku lelap, ia ibuku yang belum tidur.

Ibuku adalah pribadi yang paling percaya aku akan membanggakannya.

Ketulusan ada dalam hatinya, di dalam hati seorang ibu.

Ibu adalah tempat yang paling tepat untuk mengetahui kebahagiaanku.

Selalu saat ku jauh dari lengannya, aku sering berpikir tentang kesehatannya. Aku ingin mendekap ibuku erat, ingin secepatnya ada di sana.

Di waktu yang tidak ku tahu, ibuku hening. Ia mendoakanku, anaknya yang paling nakal, yang amat ia sayangi, yang sedang tidak di rumah.

Ia sering tertawa, mengajak aku bercanda. Keriangan ibu adalah kebahagiaanku. Tidak ternilai, sangat menyentuh, namun ku pandai menutupinya.

Kini aku telah dewasa, sementara ibu semakin tua. Sesungguhnya aku ingin menyungkur di hadapannya, bahkan mengecup telapak kakinya.

Setiap kali di waktu aku menangis, ibu sering berkata, “Tenang, saya ada di sini. Lihatlah, Nak! Saya tidak meninggalkanmu!

Aku sudah besar dan ibu semakin tua. Tangannya hanya mampu mendekap aku, tak lagi kuat menggendong aku, menimang-nimang sampai ku lelap.

Wajah ibu mulai berkerut. Mungkin memikirkan isi perutku, mengkhawatirkan aku yang jarang pulang.

Untuk membaca tulisanku, ibuku harus mengenakan kaca matanya. Untuk mendoakanku, ia memakai air matanya.

Bibirku bergetar untuk dekat ke telinga mama, membisikkan kata sayang yang jujur, yang datang dari rasa syukurku, memilikinya dalam hidupku.

Aku melihat ibuku memegang sendok, mengunyah nasi begitu lahap. Aku ada di sampingnya. Senang sekali. Aku hampir menangis. Sangat emosional.

Ibu berjalan mendaki tangga, nafasnya terdengar lelah, namun ia tetap tersenyum.

Ibu pernah membelikanku baju yang tidak kusuka. Aku memakainya, dan katanya aku terlihat tampan. Betapa ia tak mampu melihat keburukanku.

Mengatakan “Ia ibuku dan aku anaknya” adalah kalimat yang paling indah yang pernah datang dari mulutku.

Sedari aku bayi sampai dewasa, sedari aku menangis minta di peluk, sampai ku jarang memeluknya lagi, rasa sayang ibu adalah tetap.

Aku pernah membantah, membuat ibu menangis di balik pintu. Aku memohon kepada Tuhan, agar Ia mau menjatuhkan lututku di depan air matanya.

Telinga ibu adalah telinga yang paling rindu ucapan sayang dari anaknya yang sudah besar.

Mama sedang asyik menyulam di depan pintu. Punggungnya kian membungkuk, matanya agak memerah, menungguku datang membuka pintu.

Seperti apa aku sekarang, seperti ibu terus menyayang.

"Apakah aku sudah makan?" adalah pertanyaan di dalam perut ibuku.

Aku sudah sarapan. Rasanya kenyang sekali. Ibu harus tahu hal ini. Ia pasti senang sekali.

Dari ibuku, aku melihat betapa berharganya aku.

Aku sering marah-marah waktu ibu membangunkan tidurku. Aku hanya tidak mengerti, ia ingin menyelamatkanku dari patukan ayam.

Berbahagialah bintang terkenal, karena ibuku suka sinetron.

Ibu senang menjahit celanaku yang sudah robek, sementara aku merengek minta yang baru.

Aku adalah anak yang nakal. Beruntung, ibu sangat sayang padaku.

Apabila aku anak yang hebat, ibu yang hebat yang melahirkannya.

Aku ingin jadi komedian khusus ibuku.

Baiklah, tadi sekilas tentang ibuku. Aku hanya berpikir, kian hari ia kian semakin tua. Rambutnya sudah memutih, kulitnya juga keriput. Ibu.

Saturday, March 15, 2008

Sepeda Pertama

Tadinya saya enggan menulis hal ini. Karena bisa jadi tidak banyak yang percaya atau malah jadi bosan membaca tulisan-tulisan saya yang lagi-lagi membuat sedih. Tapi dipikir-pikir, buat apa saya memusingkan hal itu. Toh, saya hanya ingin menguraikan hidup saya. Tidak lebih. Setidaknya, meski tak penting untuk orang lain, hal ini penting untuk saya.
Cerita berawal di akhir Desember 2007 lalu. Sesuai resolusi tahun 2008 saya, maka belilah saya sebuah sepeda kuning dengan tujuan mengurangi asap di bumi. Saya akan bersepeda ke kantor ataupun ke tempat-tempat yang memungkinkan. Senang sekali saya memiliki sepeda juga akhirnya. Dan setelah memiliki, rasanya saya memang suka naik sepeda. Tujuan mengurangi asap sudah lupa rasanya. Sepeda saya pun saya beri nama biar lebih terasa privat, Bayki namanya.
Beberapa hari kemudian. Pulanglah saya ke rumah. Karena sebelumnya saya bercerita pada ibu saya, diapun menanyakan “apakah saya sudah membeli sepeda atau belum?”. Tentu saya iyakan. Kemudian ia mengatakan bahwa ia ingin sekali datang ke kostan saya untuk melihat sepeda baru saya. Sedikit kaget mendengar perkataan ibu saya itu, saya katakan bahwa saya akan membawa si Bayki ke sini segera, biar Ibu saya bisa melihatnya.
Dari situ mulailah saya berpikir-pikir, mengapa reaksi ibu saya sampai sedemikian yah? Kemudian tak sabarlah saya menulis tentang hal ini.
Saya bisa bersepeda sejak kecil. Awalnya, saya belajar menaiki sepeda dengan meminjam sepeda milik tetangga saya. Waktu itu sekitar kelas 2 SD. Tetangga baru saya memiliki anak seusia saya. Dia punya sepeda BMX. Meski pindah rumah, dia tidak pindah sekolah. Setiap hari ia harus pergi sekolah membonceng motor ayahnya. Kebetulan, ia sekolah siang, sementara saya pagi hari. Karena tak mungkin membawa sepeda ke sekolahnya. Ia pun meninggalkan sepedanya di rumah. Melihat kesempatan ini, maka seringkali saya meminta izin ibunya untuk meminjam sepeda. Ternyata dari hanya meminjam sepeda akhirnya saya bisa naik sepeda.
Ketika saya kelas 4 SD, munculah tren sepeda federal di kalangan anak-anak. Rata-rata teman saya sudah memilikinya. Karena saya tidak punya sepeda, maka saya biasanya meminjam atau ikut bonceng dengan kawan saya. Sampai suatu saat akhirnya saya minta dibelikan sepeda pada ibu saya.
Sebagai ibu pastinya dia tidak akan menolak. Kalau ada rejeki nanti kita beli, begitu katanya. Namun walaupun masih kecil, waktu itu saya tahu bahwa sepeda adalah barang mewah bagi keluarga kami. Dan karena saya masih kecil, tetap saja saya menunggu suatu keajaiban datang. Berharap-harap ibu saya mendapat rejeki untuk membeli sepeda.
Sampai beberapa waktu, ternyata rejeki itu tak jua datang. Maka meski sangat ingin, saya tahu bahwa saya harus memendam keinginan saya untuk memiliki sepeda. Untung kawan-kawan saya baik, selalu saja ada yang mau membonceng saya. Namun biar bagaimanapun, mengenjut sepeda sendiri lebih menyenangkan kebanding dibonceng. Saya juga malu ikut membonceng kalau tidak ditawari. Kalau agenda bermain kawan-kawan saya adalah naik sepeda, maka saya akan merasa lebih baik pulang ke rumah.
Suatu hari datanglah berita yang sempat menyenangkan hati saya. Ibu saya bilang, saya akan punya sepeda. Paman saya kebetulan telah membeli sepeda federal untuk anaknya. Sepeda BMX-nya sudah lama tersimpan di gudang, daripada tidak terpakai lebih baik digunakan saya yang belum mempunyai sepeda. Maka datanglah saya dan ibu saya menjemput sepeda itu.
Sepeda BMX yang diberikan kepada saya ternyata sudah cukup tua. Agak berkarat dan bannya bocor, namun ibu saya menenangkan saya dengan mengatakan akan menggantikan bannya. Meski demikian, dalam hati saya tetap tidak suka. Sepeda BMX tersebut selain sudah tua, saya juga tidak suka modelnya. BMX bukan, sepeda mini bukan.
Akhirnya saya bawa pulang juga sepeda baru yang bekas itu. Dalam hati saya menggerutu tidak akan sering-sering menggunakannya. Lebih malu lagi ketika saya membawa sepeda itu berkeliling banyak yang memanggil saya “bencong”. Sepeda tersebut memang lebih mirip sepeda perempuan kalau dilihat.
Tidak sampai beberapa hari, terjadi sesuatu dengan sepeda itu. Belum sempat saya menerimanya sebagai teman, si sepeda telah rusak stangnya. Hasilnya, saya tidak dapat menggunakannya lagi. Sayapun tetap tidak punya sepeda, hingga saya lupa bahwa saya pernah begitu menginginkannya. Sejak itu saya juga tidak pernah meminta dibelikan sepeda pada ibu saya.
Sekarang, setiap kali saya pulang ke rumah, saya selalu membawa sepeda kuning saya itu. Ibu saya selalu saja lebih repot dari saya memperlakukan sepeda itu. Segera memasukannya ke dalam rumah beberapa menit saya sampai. Melapi kotorannya. Mengisi botol minumnya. Bahkan melarang keponakan saya untuk menyentuhnya.
Terkadang saya jengah sendiri melihatnya. Namun berulang kali saya melihat sikap ibu saya, berulang kali saya mengingat cerita saya tadi. Bisa jadi ini hanya asumsi saya. Namun saya percaya, ketika kita tidak mampu menepati janji, kita bisa membayarnya dengan cara lain. Dan Ibu saya berusaha melakukan pada anaknya.

Wednesday, October 17, 2007

Lebaran

Mungkin bisa dikatakan hampir lima lebaran saya tidak menikmatinya. Saya sampai batas kesimpulan bahwa hanya anak-anaklah yang menikmati lebaran. Bagi orang dewasa, lebaran hanyalah kepusingan belaka. Memikirkan ini, memikirkan itu.
Sejak saya lulus SMA, lebaran hanya seperti pengulangan saja. Membeli baju dan meminta maaf. Setelah itu semuanya menguap begitu saja. Lebaran terkadang hanya membuat saya seperti mahluk tak berguna. Membebankan orangtua untuk mengeluarkan uang untuk membeli pakaian, yang dipaksa harus baru. Walaupun pas-pasan, kebetulan orangtua saya terutama ibu adalah orang yang tidak tega kalau melihat anaknya tidak mengenakan sesuatu yang baru untuk lebaran. Maka itu walaupun baju murah, biasanya saya tetap memilikinya di hari lebaran. “Yang penting make” kata ibu saya.
Lebaran masa kecil saya tentu saja sangat meriah. Ibu saya selalu membelikan baju lebaran untuk saya, bahkan terkadang jauh-jauh hari sebelum bulan puasa. “Mumpung ada duit, belinya satu-satu” begitu ibu saya yang punya delapan anak sering cerita ke tetangganya dulu. Hal lain yang ia usahakan ada di hari lebaran adalah daging kerbau, ketupat, dan kue untuk mengantar.
Daging kerbau biasanya ibu saya mengikuti semacam patungan beli daging kerbau, yang kami sebut “ngandil”. Biasanya beberapa bulan sebelum bulan Ramadhan, bang Perin, nama peternak kerbaunya, menawarkan ke ibu saya ingin ikut mengandil atau tidak. Setiap tahun ibu saya selalu mengikutinya. Kebetulan pembayarannya bisa dicicil sehingga meringankan dia. Biasanya dia ngandil sebanyak setengah tanding, yang kira-kira beratnya 2,5 kilo daging belum ditambah isi perut dan tulangan. Namun ketika kakak-kakak saya telah berumah tangga, dia mengandil setanding yang artinya sekitar 5,5 kilo. Pembayaran dan daging itu dibagi dua dengan kakak saya.
Satu hari menjelang Lebaran, kerbau akan dipotong, disaksikan seluruh penduduk. Sewaktu kecil saya sering sekali melihat pemotongan kerbau ini walaupun selalu menutup mata setiap kali kerbau akan dipotong. Bahkan dulu saya dan teman saya percaya bahwa kerbau-kerbau itu menangis. Kemudian, dengan bergotong royong penduduk yang ikut mengandil akan menguliti kerbau, memotong-motong, dan membagi-bagi daging kerbau tersebut kepada setiap pengandil sesuai dengan jumlah andilannya. Biasanya daging kerbau itu disemur oleh ibu saya dan dihidangkan saat lebaran atau dibagi-bagikan ke tetangga atau saudara.
Ketupat dan sayur pepaya juga merupakan hidangan yang wajib ada. Beberapa hari sebelum lebaran, biasanya kami menganamnya sendiri. Ibu dan bapak saya tidak bisa menganam ketupat, namun saya pun tidak mengerti mengapa semua anaknya bisa menganam ketupat. Pernah juga kami berjualan kulit ketupat, namun sudah lama sekali rasanya tidak kami lakukan lagi.
Biasanya subuh-subuh di hari akhir lebaran ibu saya memasaknya sehingga malam takbiran kami sudah bisa mencicipinya. Sehabis salat Ied juga menjadi kebiasaan kami untuk makan ketupat terlebih dahulu sebelum berkeliling ke tetangga dan saudara. Oh ya, ketupat lebaran biasanya akan habis paling lama hari ketiga lebaran. Karena kebetulan ibu saya mempunyai anak banyak, ia selalu memasak ketupat lebih dari 50 buah. Tetap saja habis.
Hal lain yang harus ada adalah kue dan kacang. Dulu ibu saya selalu membuat kue sendiri. Biasanya kami membuatnya bersama-sama usai salat tarawih. Kalau kacang ibu saya pasti menggorengnya setelah habis sahur di hari-hari menjelang lebaran. Beberapa kue yang sering kali kami buat yaitu akar kelapa, biji ketapang, dan simping. Kue-kue ini menggunakan teknik menggoreng dalam pembuatannya.
Ada juga kembang ros, namun karena cara pembuatannya yang sulit, ibu saya biasanya membelinya. Ia tinggal menggoreng saja seperti membeli kerupuk udang. Kembang goyang juga merupakan kue yang sering kami buat sendiri di rumah karena tidak merepotkan walaupun tekniknya agak sedikit bawel. Dan yang tidak boleh ketinggalan, ibu saya selalu membuat uli, yaitu makanan dari ketan yang dikukus kemudian ditumbuk. Makanan yang satu ini merupakan favorit saya.
Uli seharusnya dimakan dengan tape ketan. Namun ibu saya tidak pernah membuat tape ketan sendiri, biasanya saudara kandungnya memberikannya satu stoples. Kalau sudah lebih dari tiga hari, biasanya uli mengeras dan menguning permukaannya. Namun jangan kuatir, uli tetap bisa dimakan, buang saja bagian permukaannya seperti mengupas mangga. Kemudian uli dipotong-potong sebesar kue bulan, lalu digoreng. Dijamin rasanya masih tetap enak. Kalaupun tape ketan sudah habis, biasanya kami menggantinya dengan gula putih. Rasanya tetap nikmat.
Dulu saya tidak mengenal kue hasil oven sama sekali saat lebaran. Kue oven yang saya kenal pertama kali saat lebaran adalah kue bakar. Kue ini mulai meramaikan lebaran saya ketika saya mempunyai tetangga yang pindahan dari Kuningan. Kuenya biasanya berbentuk bunga dengan 6 kelopak. Entah mengapa saya menyukainya meski kakak saya bilang aroma telurnya terasa sekali. Yang unik dari kue bakar adalah permukaannya yang cukup unik. Tidak lembut dan tidak keras serta sedikit lembab. Ketika menggigitnya pecahannya terasa seperti batu bata yang pecah.
Kue oven lain yang saya kenal kemudian adalah kue nastar. Waktu saya kecil, kue ini terkesan sangat ekslusif, bahkan saya hampir tidak memilikinya ketika lebaran. Saya hanya mencicipinya di rumah bibi saya yang kebetulan agak banyak uang. Kalau kebetulan ibu saya mendapat bingkisan kue ini, biasanya kami sekeluarga berebutan. Kalau natal kue ini juga biasanya saya dapatkan dari tetangga saya yang merayakan.
Kue nastar memang tampak menarik dengan bentuknya yang beragam. Ditambah lagi asesoris cengkeh atau keju atau kismis, membuat kue ini nampak cantik dan menggoda orang untuk memakannya. Sudah hampir lima lebaran ini kami selalu memilikinya. Sewaktu masih ada kakak perempuan saya, biasanya kami membuatnya sendiri. Namun dua tahun belakangan, ibu saya cuma membeli saja karena tidak bisa membuatnya.
Dua tahun ini memang ibu saya tidak serepot dulu. Anak-anaknya tinggal saya saja yang belum menikah, karena itu akan sangat merepotkan kalau ia harus membuatnya sendiri. Ibu saya memang masih ikut ngandil daging dan menyemurnya. Ia juga masih menggoreng kacang. Ia juga masih membuat uli. Ketupat dan sayur pepaya juga masih diolahnya. Hanya saja untuk kue-kue ia tidak lagi membuatnya.
Sekarang kami menyediakan kue nastar, kacang, dan permen yang kami beli untuk disediakan tamu. Membeli biskuit kalengan untuk diberikan ke saudara. Serta membeli minuman gelas untuk minuman tamu. Semuanya serba praktis dan tidak merepotkan lagi.
Tentu saja hal ini bukan hanya dialami kami. Hampir semua rumah di kampung saya, sekarang mempunyai gaya yang sama. Sedikit sekali rumah-rumah yang menyediakan kue buatan rumah. Kalau dulu meja-meja dipenuhi akar kelapa, biji ketapang, dan simping. Sekarang meja-meja sekarang dipenuhi kue nastar, biskuit kalengan, atau astor.
Dulu kue-kue buatan rumah, jarang sekali disimpan dalam stoples transparan seperti kue-kue masa kini. biasanya pemilik kue menyimpannya dalam kaleng-kaleng bekas biskuit. Sehingga saya dan kakak saya mempunyai lelucon saat berkunjung ke rumah orang untuk berlebaran. Kami seringkali main tebak-tebakan apa isi kaleng yang ada di atas meja: akar kelapa, biji ketapang, atau simping. Sekarang semuanya menjadi begitu transparan sehingga lelucon kami tidak berlaku lagi.
Dua tahun ini, saya berlebaran sebagai orang dewasa karena saya sudah bekerja. Kalau dulu saya hanya meminta uang ke ibu, sekarang saya yang harus memberikannya. Sebagai orang dewasa saya juga harus merelakan THR saya dibagi-bagikan ke keponakan, anak-anak kecil dan keluarga ibu bapak saya yang kurang beruntung. Tadinya saya berpikir ini seperti pekerja berpamer ria saja, namun ternyata ada maksud lain dari situ. Setidaknya saya melihat perubahan yang cukup menyenangkan hati saya.
Ibu saya dulunya melarat sekali. Hampir tiap lebaran ia hanya mempunyai ongkos untuk pergi ke rumah kakek saya di Kampung Gedong. Ia tidak pernah membagi-bagikan uang untuk keponakan atau anak-anak kecil karena tidak punya. Justru terkadang ia diberikan uang oleh saudaranya untuk ongkos pulang.
Tahun lalu, saya dan ibu saya mempunyai dompet bersama berisi uang yang kami bagikan. Saat membagikannya kami menyebut nama kami berdua. Tahun ini, dompet kami terpisah, ibu saya mempunyai anggaran sendiri dan saya mempunyai anggaran sendiri. Kami memberi keponakan-keponakan ibu saya dan anak-anak kecil sekitar rumah dengan anggaran sendiri-sendiri.
Sampai sini, saya tidak bermaksud untuk bersombong. Saya hanya terharu bahwa kehidupan kami semakin membaik. Betapa kebanggaan dan kebahagiaan berbinar di mata ibu saya lebaran ini. Saya tidak mungkin merusaknya. Saya menikmati lebaran ini untuk memahami kebahagiaan ibu saya. Mudah-mudahan ini cara lain memaknai lebaran.

Wednesday, May 2, 2007

Perempuan Ibuku

Senin lalu, saya mengajak ibu saya untuk belanja barang kebutuhan bulanan di Carrefour TAMINI SQUARE. Kebetulan, hari itu adalah hari terakhir saya cuti. Dua bulan ini, terus terang saya hampir tidak punya waktu luang untuk ibu saya, bahkan untuk sekedar berbicara. Makanya meski sedang capek karena empat hari mengurus acara, saya relakan diri saya untuk mengajak ibu saya berjalan-jalan keluar dari rumah.
Ibu saya ini, lagi-lagi harus saya katakan, seumur hidupnya hanya diperuntukkan untuk anaknya. Bahkan hingga saat ini, ketika anak-anaknya sudah tumbuh besar dan hampir semua bekeluarga (hanya saya saja yang belum bekeluarga). Masih harus pula ia memikirkan bakul nasi keluarga anaknya. Masih harus pula ia memikirkan bagaimana cucu-cucunya akan hidup. Masih harus pula ia memikirkan bagaimana pakaian-pakaian saya akan tercuci ketika saya pernah sekali melontarkan keinginan untuk pisah rumah atau kost.
Sejak kecil, ibu saya hidup dalam kehidupan yang bisa dikatakan kurang. Meski bapaknya terhitung orang ada, namun sebagai anak tengah, ia tidak pernah merasakan kasih sayang lebih dari orangtuanya. Dari 10 orang anak itu, bisa dikatakan ibu saya adalah yang paling disisihkan. Hingga ia tidak pernah berharap orangtuanya akan memberikan lebih dari saudara-saudaranya yang lain. Hingga ia tidak pernah berkeluh-kesah tentang hidupnya yang susah dengan suami pilihan orangtuanya itu.
Suaminya itu, bukan laki-laki yang romantis. Dia justru nyaris kekanakan. Seumur hidup tidak pernah suaminya itu mengajaknya pergi berduaan kemanapun. Tapi, ibu saya itu, selalu saja mengajak suaminya kalau ia mendapat kesempatan untuk plesir. Tentu saja kejadian itu jarang sekali. Plesir ibu saya pun seringnya ke tempat-tempat yang tidak me-refresh pikiran. Itu baru belakangan terungkap, waktu saya menanyakan bagaimana perasaan sehabis pulang ziarah ke makam-makam itu. Ibu saya hanya bercerita bahwa ia pergi jauh, melihat makan, dan dibuntuti pengemis-pengemis. Itu saja ceritanya. Dia tidak mendapatkan pengalaman baru dari kepergiannya. Singkatnya, ibu saya amat sangat jarang pergi-pergi. Wajar kalau ia hanya tahu Tanjung Barat, Pasar Minggu, dan Kampung Gedong. Hanya daerah itu saja yang ia sering singgahi.
Tanjung Barat, yah jelas karena di sana kami tinggal. Pasar Minggu, adalah pasar terdekat dari rumah kami, lagipula setiap bulannya ibu saya ini pergi ke sana untuk mengambil uang pensiun suaminya itu. Kampung Gedong, walah.. kalau tempat ini, tidak mungkin ia tidak tahu, karena di sana ia lahir dan hampir semua saudaranya berkumpul di sana.
Sampai di sini, saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam hidupnya ibu saya tidak banyak mengenal daerah. Hidupnya hanya di rumah, di rumah, dan di rumah saudaranya. Tidak pernah plesir.
Saya sendiri belum pernah mengajaknya plesir. Karena itu saya memintanya untuk mengikuti tour apa saja yang ada. Namun sayang, belakangan kegiatan tour sudah tidak booming lagi di kampung saya.
Mengisi kekosongan itu, mumpung ada waktu, mungkin tidak apa-apa sekali-sekali saya mengajak ibu saya ke tempat yang sedikit berkelas, walaupun itu cuma Carrefour.
Saya tahu sebetulnya ibu saya senang sekali, namun dia menyembunyikannya dalam hati. Dia berjalan dengan saya, dengan sejuta ketakjuban yang terpancar di matanya. Melihat ibu saya senang, saya tidak tega kalau harus menolak membeli barang yang ia inginkan. Hasilnya uang belanja bulan ini harus dinaikkan 100%.
Waktu saya membayar di kasir dengan polosnya ibu saya bilang ".. kalo nenek-nenek sih kagak bisa nih belanja sendirian di sini..". Sang kasir tertawa. Saya cuma tersenyum dalam hati.
Seusai belanja kami makan di sebuah restoran sederhana di depan Carrefour. Kami memesan soto. Kami menunggu soto itu dalam kesunyian. Ibu saya diam saja, saya diam saja juga. Saya memperhatikan ibu saya yang kelihatan sedikit tidak biasa dengan kondisi di sekitar namun di sisi lain ia senang.
Ibu saya ini memang bukan perempuan yang emosionil. Ia biasa menahan apa saja yang dirasakannya. Ia bukan perempuan lembut yang terbiasa menggunakan kontak tubuh atau mengatakan secara verbal tentang rasa sayangnya. Ia perempuan yang hidup keras sehingga semua perasaannya dituangkan dalam bentuk perjuangan. Ia diam-diam menyatakan kasih sayangnya.

Wednesday, April 11, 2007

Muara Angke

Sabtu lalu, pergilah saya ke Muara Angke bersama teman-teman saya. Sebenarnya, kami merencanakannya hari Jum’at. Tapi entah mengapa tiba-tiba tidak jadi, dan entah mengapa pula tiba-tiba di hari Sabtu kami memutuskan untuk jadi ke Muara Angke. Kadang betul juga asumsi yang bilang bahwa yang direncanakan biasanya tidak terlaksana, justru yang dadakan yang terlaksana.
Berjanjilah kami bertemu di suatu tempat. Tempat pertama Citos, kami berjanjian di J-Co. tempat kedua di Artha Gading, lagi-lagi di J-Co. Setelah dua J-Co barulah kami bergegas ke Muara Angke. Hampir saja kami tidak jadi karena tidak satu pun di antara kami yang tahu jalan menuju Muara Angke. Dengan berkorban pulsa, seorang teman saya rela berkali-kali menelepon temannya untuk menanyakan jalan mana yang harus kami tempuh untuk sampai ke Muara Angke.
Sedikit tersasar tapi kami akhirnya sampai juga ke Muara Angke. Pasar ikan tepatnya. Senang sekali rasanya bisa mencari tempat yang kami belum tahu sebelumnya. Seorang teman saya berkata bahwa ia pernah ke sini. Cuma dia tahunya sebagai Muara Karang. Sedikit berdebat-debat, tidak juga kami dapatkan hubungan antara Muara Angke dan Muara Karang. Tapi sepenting apa pula untuk kami debatkan saat itu.
Memasuki pasar ikan, suasana nelayan mulai terasa. Bertumpuk-tumpuk hewan laut mati digelar oleh pedagang. Suara mereka berlomba-lomba merebut hati pembeli. Setelah parkir mobil, kami pun merencanakan transaksi pembelian yang akan kami lakukan. Beruntung ada salahsatu teman kami yang sudah pernah ke sini, setidaknya dia sedikit tahu bagaimana harus bertransaksi agar tidak dibohongi.
Kami mengumpulkan uang 25.000 per orang. Kemudian kami bergegas belanja. Satu kilo ikan baranang batik tulis. 3 mangkuk kerang. 1 kilo kepiting. 3 mangkuk udang. 1 kilo udang besar. 3 mangkuk cumi-cumi. Semuanya kami beli mentah. Anehnya saya tidak mencium bau amis menyengat sama sekali di sana. Yang terpikir hanya ikan-ikan itu akan jadi santapan saat itu.
Setelah itu kami bergegas ke warung-warung yang memasak belanjaan kami. Saya lupa nama warungnya. Yang jelas, dia berada di tengah-tengah komplek warung itu. Kami memilihnya karena warung itu ramai. Biasanya warung yang ramai itu enak, begitu asumsi kami.
Duduk lesehan kami di bale-bale. Dua teman kami menemui tukang warung untuk memesan menu apa yang hendak dimasak. Ikan baranang batik dibakar. Kerang direbus. Kepiting direbus. Udang asam-manis dan pedas. Udang besar bumbu. Cumi-cumi asam manis. Mmm.. semua tersaji di bale dan banyak sekali. Saat itu bale kami sepenuh meja makan bangsawan rasanya. Kami berdelapan berlomba-lomba mencicipi semua hidangan.
Di tengah makan, entah mengapa tiba-tiba saya memikirkan ibu saya. Saya membayangkan ia ada di sini. Walaupun ia pernah memasak itu semua, tapi pasti suasana seperti itu tidak pernah dirasakannya. Munculah sedikit rasa bersalah dalam hati saya. Mengapa saya bersenang-senang seperti ini tanpa mengajak ibu saya. Kapan saya bisa melakukannya.
Saya jadi teringat masa lalu ketika saya kecil. Ibu saya itu seorang ibu yang berjuang keras untuk menghidupi anak-anaknya. Dia rela kuli nyuci untuk itu. Dengan memiliki delapan anak dan satu suami yang dablek, rasanya tidak ada waktu baginya untuk bersenang-senang. Apalagi jalan-jalan sambil makan-makan seperti saya malam itu. Uang hasil jerih payahnya, hanya dinikmati oleh anak-anaknya. Saya yakin itu. Jangankan uang, terkadang makanan yang diberikan untuknya pun dinikmati anaknya. Saya ingat sekali waktu itu, setiap kali ia pulang kuli nyuci ia sering membawa beberapa potong makanan. Dia bilang itu dari majikannya untuk dimakan kalau-kalau lapar disela-sela melakukan pekerjaan. Waktu kecil saya biasa-biasa saja mendengarnya. Namun saat mulai besar, kalau mengingat hal itu saya merinding. Tak bisa saya menahan air mata. Bagaimana rasanya menahan lapar demi untuk memberi makan orang lain?
Tiba-tiba saja nafsu makan saya berkurang. Makanan-makanan di depan mata saya tiba-tiba ingin semua saya berikan pada ibu saya. Tapi tetap saja saya ikut memakannya bersama teman-teman saya. Bukan karena saya nafsu, cuma saya sayang dengan sejumlah uang yang sudah saya keluarkan untuk membeli itu semua.