Wednesday, April 11, 2007

Muara Angke

Sabtu lalu, pergilah saya ke Muara Angke bersama teman-teman saya. Sebenarnya, kami merencanakannya hari Jum’at. Tapi entah mengapa tiba-tiba tidak jadi, dan entah mengapa pula tiba-tiba di hari Sabtu kami memutuskan untuk jadi ke Muara Angke. Kadang betul juga asumsi yang bilang bahwa yang direncanakan biasanya tidak terlaksana, justru yang dadakan yang terlaksana.
Berjanjilah kami bertemu di suatu tempat. Tempat pertama Citos, kami berjanjian di J-Co. tempat kedua di Artha Gading, lagi-lagi di J-Co. Setelah dua J-Co barulah kami bergegas ke Muara Angke. Hampir saja kami tidak jadi karena tidak satu pun di antara kami yang tahu jalan menuju Muara Angke. Dengan berkorban pulsa, seorang teman saya rela berkali-kali menelepon temannya untuk menanyakan jalan mana yang harus kami tempuh untuk sampai ke Muara Angke.
Sedikit tersasar tapi kami akhirnya sampai juga ke Muara Angke. Pasar ikan tepatnya. Senang sekali rasanya bisa mencari tempat yang kami belum tahu sebelumnya. Seorang teman saya berkata bahwa ia pernah ke sini. Cuma dia tahunya sebagai Muara Karang. Sedikit berdebat-debat, tidak juga kami dapatkan hubungan antara Muara Angke dan Muara Karang. Tapi sepenting apa pula untuk kami debatkan saat itu.
Memasuki pasar ikan, suasana nelayan mulai terasa. Bertumpuk-tumpuk hewan laut mati digelar oleh pedagang. Suara mereka berlomba-lomba merebut hati pembeli. Setelah parkir mobil, kami pun merencanakan transaksi pembelian yang akan kami lakukan. Beruntung ada salahsatu teman kami yang sudah pernah ke sini, setidaknya dia sedikit tahu bagaimana harus bertransaksi agar tidak dibohongi.
Kami mengumpulkan uang 25.000 per orang. Kemudian kami bergegas belanja. Satu kilo ikan baranang batik tulis. 3 mangkuk kerang. 1 kilo kepiting. 3 mangkuk udang. 1 kilo udang besar. 3 mangkuk cumi-cumi. Semuanya kami beli mentah. Anehnya saya tidak mencium bau amis menyengat sama sekali di sana. Yang terpikir hanya ikan-ikan itu akan jadi santapan saat itu.
Setelah itu kami bergegas ke warung-warung yang memasak belanjaan kami. Saya lupa nama warungnya. Yang jelas, dia berada di tengah-tengah komplek warung itu. Kami memilihnya karena warung itu ramai. Biasanya warung yang ramai itu enak, begitu asumsi kami.
Duduk lesehan kami di bale-bale. Dua teman kami menemui tukang warung untuk memesan menu apa yang hendak dimasak. Ikan baranang batik dibakar. Kerang direbus. Kepiting direbus. Udang asam-manis dan pedas. Udang besar bumbu. Cumi-cumi asam manis. Mmm.. semua tersaji di bale dan banyak sekali. Saat itu bale kami sepenuh meja makan bangsawan rasanya. Kami berdelapan berlomba-lomba mencicipi semua hidangan.
Di tengah makan, entah mengapa tiba-tiba saya memikirkan ibu saya. Saya membayangkan ia ada di sini. Walaupun ia pernah memasak itu semua, tapi pasti suasana seperti itu tidak pernah dirasakannya. Munculah sedikit rasa bersalah dalam hati saya. Mengapa saya bersenang-senang seperti ini tanpa mengajak ibu saya. Kapan saya bisa melakukannya.
Saya jadi teringat masa lalu ketika saya kecil. Ibu saya itu seorang ibu yang berjuang keras untuk menghidupi anak-anaknya. Dia rela kuli nyuci untuk itu. Dengan memiliki delapan anak dan satu suami yang dablek, rasanya tidak ada waktu baginya untuk bersenang-senang. Apalagi jalan-jalan sambil makan-makan seperti saya malam itu. Uang hasil jerih payahnya, hanya dinikmati oleh anak-anaknya. Saya yakin itu. Jangankan uang, terkadang makanan yang diberikan untuknya pun dinikmati anaknya. Saya ingat sekali waktu itu, setiap kali ia pulang kuli nyuci ia sering membawa beberapa potong makanan. Dia bilang itu dari majikannya untuk dimakan kalau-kalau lapar disela-sela melakukan pekerjaan. Waktu kecil saya biasa-biasa saja mendengarnya. Namun saat mulai besar, kalau mengingat hal itu saya merinding. Tak bisa saya menahan air mata. Bagaimana rasanya menahan lapar demi untuk memberi makan orang lain?
Tiba-tiba saja nafsu makan saya berkurang. Makanan-makanan di depan mata saya tiba-tiba ingin semua saya berikan pada ibu saya. Tapi tetap saja saya ikut memakannya bersama teman-teman saya. Bukan karena saya nafsu, cuma saya sayang dengan sejumlah uang yang sudah saya keluarkan untuk membeli itu semua.

No comments:

Post a Comment