Wednesday, May 2, 2007

Perempuan Ibuku

Senin lalu, saya mengajak ibu saya untuk belanja barang kebutuhan bulanan di Carrefour TAMINI SQUARE. Kebetulan, hari itu adalah hari terakhir saya cuti. Dua bulan ini, terus terang saya hampir tidak punya waktu luang untuk ibu saya, bahkan untuk sekedar berbicara. Makanya meski sedang capek karena empat hari mengurus acara, saya relakan diri saya untuk mengajak ibu saya berjalan-jalan keluar dari rumah.
Ibu saya ini, lagi-lagi harus saya katakan, seumur hidupnya hanya diperuntukkan untuk anaknya. Bahkan hingga saat ini, ketika anak-anaknya sudah tumbuh besar dan hampir semua bekeluarga (hanya saya saja yang belum bekeluarga). Masih harus pula ia memikirkan bakul nasi keluarga anaknya. Masih harus pula ia memikirkan bagaimana cucu-cucunya akan hidup. Masih harus pula ia memikirkan bagaimana pakaian-pakaian saya akan tercuci ketika saya pernah sekali melontarkan keinginan untuk pisah rumah atau kost.
Sejak kecil, ibu saya hidup dalam kehidupan yang bisa dikatakan kurang. Meski bapaknya terhitung orang ada, namun sebagai anak tengah, ia tidak pernah merasakan kasih sayang lebih dari orangtuanya. Dari 10 orang anak itu, bisa dikatakan ibu saya adalah yang paling disisihkan. Hingga ia tidak pernah berharap orangtuanya akan memberikan lebih dari saudara-saudaranya yang lain. Hingga ia tidak pernah berkeluh-kesah tentang hidupnya yang susah dengan suami pilihan orangtuanya itu.
Suaminya itu, bukan laki-laki yang romantis. Dia justru nyaris kekanakan. Seumur hidup tidak pernah suaminya itu mengajaknya pergi berduaan kemanapun. Tapi, ibu saya itu, selalu saja mengajak suaminya kalau ia mendapat kesempatan untuk plesir. Tentu saja kejadian itu jarang sekali. Plesir ibu saya pun seringnya ke tempat-tempat yang tidak me-refresh pikiran. Itu baru belakangan terungkap, waktu saya menanyakan bagaimana perasaan sehabis pulang ziarah ke makam-makam itu. Ibu saya hanya bercerita bahwa ia pergi jauh, melihat makan, dan dibuntuti pengemis-pengemis. Itu saja ceritanya. Dia tidak mendapatkan pengalaman baru dari kepergiannya. Singkatnya, ibu saya amat sangat jarang pergi-pergi. Wajar kalau ia hanya tahu Tanjung Barat, Pasar Minggu, dan Kampung Gedong. Hanya daerah itu saja yang ia sering singgahi.
Tanjung Barat, yah jelas karena di sana kami tinggal. Pasar Minggu, adalah pasar terdekat dari rumah kami, lagipula setiap bulannya ibu saya ini pergi ke sana untuk mengambil uang pensiun suaminya itu. Kampung Gedong, walah.. kalau tempat ini, tidak mungkin ia tidak tahu, karena di sana ia lahir dan hampir semua saudaranya berkumpul di sana.
Sampai di sini, saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam hidupnya ibu saya tidak banyak mengenal daerah. Hidupnya hanya di rumah, di rumah, dan di rumah saudaranya. Tidak pernah plesir.
Saya sendiri belum pernah mengajaknya plesir. Karena itu saya memintanya untuk mengikuti tour apa saja yang ada. Namun sayang, belakangan kegiatan tour sudah tidak booming lagi di kampung saya.
Mengisi kekosongan itu, mumpung ada waktu, mungkin tidak apa-apa sekali-sekali saya mengajak ibu saya ke tempat yang sedikit berkelas, walaupun itu cuma Carrefour.
Saya tahu sebetulnya ibu saya senang sekali, namun dia menyembunyikannya dalam hati. Dia berjalan dengan saya, dengan sejuta ketakjuban yang terpancar di matanya. Melihat ibu saya senang, saya tidak tega kalau harus menolak membeli barang yang ia inginkan. Hasilnya uang belanja bulan ini harus dinaikkan 100%.
Waktu saya membayar di kasir dengan polosnya ibu saya bilang ".. kalo nenek-nenek sih kagak bisa nih belanja sendirian di sini..". Sang kasir tertawa. Saya cuma tersenyum dalam hati.
Seusai belanja kami makan di sebuah restoran sederhana di depan Carrefour. Kami memesan soto. Kami menunggu soto itu dalam kesunyian. Ibu saya diam saja, saya diam saja juga. Saya memperhatikan ibu saya yang kelihatan sedikit tidak biasa dengan kondisi di sekitar namun di sisi lain ia senang.
Ibu saya ini memang bukan perempuan yang emosionil. Ia biasa menahan apa saja yang dirasakannya. Ia bukan perempuan lembut yang terbiasa menggunakan kontak tubuh atau mengatakan secara verbal tentang rasa sayangnya. Ia perempuan yang hidup keras sehingga semua perasaannya dituangkan dalam bentuk perjuangan. Ia diam-diam menyatakan kasih sayangnya.

1 comment: