Saturday, March 15, 2008

Sepeda Pertama

Tadinya saya enggan menulis hal ini. Karena bisa jadi tidak banyak yang percaya atau malah jadi bosan membaca tulisan-tulisan saya yang lagi-lagi membuat sedih. Tapi dipikir-pikir, buat apa saya memusingkan hal itu. Toh, saya hanya ingin menguraikan hidup saya. Tidak lebih. Setidaknya, meski tak penting untuk orang lain, hal ini penting untuk saya.
Cerita berawal di akhir Desember 2007 lalu. Sesuai resolusi tahun 2008 saya, maka belilah saya sebuah sepeda kuning dengan tujuan mengurangi asap di bumi. Saya akan bersepeda ke kantor ataupun ke tempat-tempat yang memungkinkan. Senang sekali saya memiliki sepeda juga akhirnya. Dan setelah memiliki, rasanya saya memang suka naik sepeda. Tujuan mengurangi asap sudah lupa rasanya. Sepeda saya pun saya beri nama biar lebih terasa privat, Bayki namanya.
Beberapa hari kemudian. Pulanglah saya ke rumah. Karena sebelumnya saya bercerita pada ibu saya, diapun menanyakan “apakah saya sudah membeli sepeda atau belum?”. Tentu saya iyakan. Kemudian ia mengatakan bahwa ia ingin sekali datang ke kostan saya untuk melihat sepeda baru saya. Sedikit kaget mendengar perkataan ibu saya itu, saya katakan bahwa saya akan membawa si Bayki ke sini segera, biar Ibu saya bisa melihatnya.
Dari situ mulailah saya berpikir-pikir, mengapa reaksi ibu saya sampai sedemikian yah? Kemudian tak sabarlah saya menulis tentang hal ini.
Saya bisa bersepeda sejak kecil. Awalnya, saya belajar menaiki sepeda dengan meminjam sepeda milik tetangga saya. Waktu itu sekitar kelas 2 SD. Tetangga baru saya memiliki anak seusia saya. Dia punya sepeda BMX. Meski pindah rumah, dia tidak pindah sekolah. Setiap hari ia harus pergi sekolah membonceng motor ayahnya. Kebetulan, ia sekolah siang, sementara saya pagi hari. Karena tak mungkin membawa sepeda ke sekolahnya. Ia pun meninggalkan sepedanya di rumah. Melihat kesempatan ini, maka seringkali saya meminta izin ibunya untuk meminjam sepeda. Ternyata dari hanya meminjam sepeda akhirnya saya bisa naik sepeda.
Ketika saya kelas 4 SD, munculah tren sepeda federal di kalangan anak-anak. Rata-rata teman saya sudah memilikinya. Karena saya tidak punya sepeda, maka saya biasanya meminjam atau ikut bonceng dengan kawan saya. Sampai suatu saat akhirnya saya minta dibelikan sepeda pada ibu saya.
Sebagai ibu pastinya dia tidak akan menolak. Kalau ada rejeki nanti kita beli, begitu katanya. Namun walaupun masih kecil, waktu itu saya tahu bahwa sepeda adalah barang mewah bagi keluarga kami. Dan karena saya masih kecil, tetap saja saya menunggu suatu keajaiban datang. Berharap-harap ibu saya mendapat rejeki untuk membeli sepeda.
Sampai beberapa waktu, ternyata rejeki itu tak jua datang. Maka meski sangat ingin, saya tahu bahwa saya harus memendam keinginan saya untuk memiliki sepeda. Untung kawan-kawan saya baik, selalu saja ada yang mau membonceng saya. Namun biar bagaimanapun, mengenjut sepeda sendiri lebih menyenangkan kebanding dibonceng. Saya juga malu ikut membonceng kalau tidak ditawari. Kalau agenda bermain kawan-kawan saya adalah naik sepeda, maka saya akan merasa lebih baik pulang ke rumah.
Suatu hari datanglah berita yang sempat menyenangkan hati saya. Ibu saya bilang, saya akan punya sepeda. Paman saya kebetulan telah membeli sepeda federal untuk anaknya. Sepeda BMX-nya sudah lama tersimpan di gudang, daripada tidak terpakai lebih baik digunakan saya yang belum mempunyai sepeda. Maka datanglah saya dan ibu saya menjemput sepeda itu.
Sepeda BMX yang diberikan kepada saya ternyata sudah cukup tua. Agak berkarat dan bannya bocor, namun ibu saya menenangkan saya dengan mengatakan akan menggantikan bannya. Meski demikian, dalam hati saya tetap tidak suka. Sepeda BMX tersebut selain sudah tua, saya juga tidak suka modelnya. BMX bukan, sepeda mini bukan.
Akhirnya saya bawa pulang juga sepeda baru yang bekas itu. Dalam hati saya menggerutu tidak akan sering-sering menggunakannya. Lebih malu lagi ketika saya membawa sepeda itu berkeliling banyak yang memanggil saya “bencong”. Sepeda tersebut memang lebih mirip sepeda perempuan kalau dilihat.
Tidak sampai beberapa hari, terjadi sesuatu dengan sepeda itu. Belum sempat saya menerimanya sebagai teman, si sepeda telah rusak stangnya. Hasilnya, saya tidak dapat menggunakannya lagi. Sayapun tetap tidak punya sepeda, hingga saya lupa bahwa saya pernah begitu menginginkannya. Sejak itu saya juga tidak pernah meminta dibelikan sepeda pada ibu saya.
Sekarang, setiap kali saya pulang ke rumah, saya selalu membawa sepeda kuning saya itu. Ibu saya selalu saja lebih repot dari saya memperlakukan sepeda itu. Segera memasukannya ke dalam rumah beberapa menit saya sampai. Melapi kotorannya. Mengisi botol minumnya. Bahkan melarang keponakan saya untuk menyentuhnya.
Terkadang saya jengah sendiri melihatnya. Namun berulang kali saya melihat sikap ibu saya, berulang kali saya mengingat cerita saya tadi. Bisa jadi ini hanya asumsi saya. Namun saya percaya, ketika kita tidak mampu menepati janji, kita bisa membayarnya dengan cara lain. Dan Ibu saya berusaha melakukan pada anaknya.

No comments:

Post a Comment