Wednesday, October 17, 2007

Lebaran

Mungkin bisa dikatakan hampir lima lebaran saya tidak menikmatinya. Saya sampai batas kesimpulan bahwa hanya anak-anaklah yang menikmati lebaran. Bagi orang dewasa, lebaran hanyalah kepusingan belaka. Memikirkan ini, memikirkan itu.
Sejak saya lulus SMA, lebaran hanya seperti pengulangan saja. Membeli baju dan meminta maaf. Setelah itu semuanya menguap begitu saja. Lebaran terkadang hanya membuat saya seperti mahluk tak berguna. Membebankan orangtua untuk mengeluarkan uang untuk membeli pakaian, yang dipaksa harus baru. Walaupun pas-pasan, kebetulan orangtua saya terutama ibu adalah orang yang tidak tega kalau melihat anaknya tidak mengenakan sesuatu yang baru untuk lebaran. Maka itu walaupun baju murah, biasanya saya tetap memilikinya di hari lebaran. “Yang penting make” kata ibu saya.
Lebaran masa kecil saya tentu saja sangat meriah. Ibu saya selalu membelikan baju lebaran untuk saya, bahkan terkadang jauh-jauh hari sebelum bulan puasa. “Mumpung ada duit, belinya satu-satu” begitu ibu saya yang punya delapan anak sering cerita ke tetangganya dulu. Hal lain yang ia usahakan ada di hari lebaran adalah daging kerbau, ketupat, dan kue untuk mengantar.
Daging kerbau biasanya ibu saya mengikuti semacam patungan beli daging kerbau, yang kami sebut “ngandil”. Biasanya beberapa bulan sebelum bulan Ramadhan, bang Perin, nama peternak kerbaunya, menawarkan ke ibu saya ingin ikut mengandil atau tidak. Setiap tahun ibu saya selalu mengikutinya. Kebetulan pembayarannya bisa dicicil sehingga meringankan dia. Biasanya dia ngandil sebanyak setengah tanding, yang kira-kira beratnya 2,5 kilo daging belum ditambah isi perut dan tulangan. Namun ketika kakak-kakak saya telah berumah tangga, dia mengandil setanding yang artinya sekitar 5,5 kilo. Pembayaran dan daging itu dibagi dua dengan kakak saya.
Satu hari menjelang Lebaran, kerbau akan dipotong, disaksikan seluruh penduduk. Sewaktu kecil saya sering sekali melihat pemotongan kerbau ini walaupun selalu menutup mata setiap kali kerbau akan dipotong. Bahkan dulu saya dan teman saya percaya bahwa kerbau-kerbau itu menangis. Kemudian, dengan bergotong royong penduduk yang ikut mengandil akan menguliti kerbau, memotong-motong, dan membagi-bagi daging kerbau tersebut kepada setiap pengandil sesuai dengan jumlah andilannya. Biasanya daging kerbau itu disemur oleh ibu saya dan dihidangkan saat lebaran atau dibagi-bagikan ke tetangga atau saudara.
Ketupat dan sayur pepaya juga merupakan hidangan yang wajib ada. Beberapa hari sebelum lebaran, biasanya kami menganamnya sendiri. Ibu dan bapak saya tidak bisa menganam ketupat, namun saya pun tidak mengerti mengapa semua anaknya bisa menganam ketupat. Pernah juga kami berjualan kulit ketupat, namun sudah lama sekali rasanya tidak kami lakukan lagi.
Biasanya subuh-subuh di hari akhir lebaran ibu saya memasaknya sehingga malam takbiran kami sudah bisa mencicipinya. Sehabis salat Ied juga menjadi kebiasaan kami untuk makan ketupat terlebih dahulu sebelum berkeliling ke tetangga dan saudara. Oh ya, ketupat lebaran biasanya akan habis paling lama hari ketiga lebaran. Karena kebetulan ibu saya mempunyai anak banyak, ia selalu memasak ketupat lebih dari 50 buah. Tetap saja habis.
Hal lain yang harus ada adalah kue dan kacang. Dulu ibu saya selalu membuat kue sendiri. Biasanya kami membuatnya bersama-sama usai salat tarawih. Kalau kacang ibu saya pasti menggorengnya setelah habis sahur di hari-hari menjelang lebaran. Beberapa kue yang sering kali kami buat yaitu akar kelapa, biji ketapang, dan simping. Kue-kue ini menggunakan teknik menggoreng dalam pembuatannya.
Ada juga kembang ros, namun karena cara pembuatannya yang sulit, ibu saya biasanya membelinya. Ia tinggal menggoreng saja seperti membeli kerupuk udang. Kembang goyang juga merupakan kue yang sering kami buat sendiri di rumah karena tidak merepotkan walaupun tekniknya agak sedikit bawel. Dan yang tidak boleh ketinggalan, ibu saya selalu membuat uli, yaitu makanan dari ketan yang dikukus kemudian ditumbuk. Makanan yang satu ini merupakan favorit saya.
Uli seharusnya dimakan dengan tape ketan. Namun ibu saya tidak pernah membuat tape ketan sendiri, biasanya saudara kandungnya memberikannya satu stoples. Kalau sudah lebih dari tiga hari, biasanya uli mengeras dan menguning permukaannya. Namun jangan kuatir, uli tetap bisa dimakan, buang saja bagian permukaannya seperti mengupas mangga. Kemudian uli dipotong-potong sebesar kue bulan, lalu digoreng. Dijamin rasanya masih tetap enak. Kalaupun tape ketan sudah habis, biasanya kami menggantinya dengan gula putih. Rasanya tetap nikmat.
Dulu saya tidak mengenal kue hasil oven sama sekali saat lebaran. Kue oven yang saya kenal pertama kali saat lebaran adalah kue bakar. Kue ini mulai meramaikan lebaran saya ketika saya mempunyai tetangga yang pindahan dari Kuningan. Kuenya biasanya berbentuk bunga dengan 6 kelopak. Entah mengapa saya menyukainya meski kakak saya bilang aroma telurnya terasa sekali. Yang unik dari kue bakar adalah permukaannya yang cukup unik. Tidak lembut dan tidak keras serta sedikit lembab. Ketika menggigitnya pecahannya terasa seperti batu bata yang pecah.
Kue oven lain yang saya kenal kemudian adalah kue nastar. Waktu saya kecil, kue ini terkesan sangat ekslusif, bahkan saya hampir tidak memilikinya ketika lebaran. Saya hanya mencicipinya di rumah bibi saya yang kebetulan agak banyak uang. Kalau kebetulan ibu saya mendapat bingkisan kue ini, biasanya kami sekeluarga berebutan. Kalau natal kue ini juga biasanya saya dapatkan dari tetangga saya yang merayakan.
Kue nastar memang tampak menarik dengan bentuknya yang beragam. Ditambah lagi asesoris cengkeh atau keju atau kismis, membuat kue ini nampak cantik dan menggoda orang untuk memakannya. Sudah hampir lima lebaran ini kami selalu memilikinya. Sewaktu masih ada kakak perempuan saya, biasanya kami membuatnya sendiri. Namun dua tahun belakangan, ibu saya cuma membeli saja karena tidak bisa membuatnya.
Dua tahun ini memang ibu saya tidak serepot dulu. Anak-anaknya tinggal saya saja yang belum menikah, karena itu akan sangat merepotkan kalau ia harus membuatnya sendiri. Ibu saya memang masih ikut ngandil daging dan menyemurnya. Ia juga masih menggoreng kacang. Ia juga masih membuat uli. Ketupat dan sayur pepaya juga masih diolahnya. Hanya saja untuk kue-kue ia tidak lagi membuatnya.
Sekarang kami menyediakan kue nastar, kacang, dan permen yang kami beli untuk disediakan tamu. Membeli biskuit kalengan untuk diberikan ke saudara. Serta membeli minuman gelas untuk minuman tamu. Semuanya serba praktis dan tidak merepotkan lagi.
Tentu saja hal ini bukan hanya dialami kami. Hampir semua rumah di kampung saya, sekarang mempunyai gaya yang sama. Sedikit sekali rumah-rumah yang menyediakan kue buatan rumah. Kalau dulu meja-meja dipenuhi akar kelapa, biji ketapang, dan simping. Sekarang meja-meja sekarang dipenuhi kue nastar, biskuit kalengan, atau astor.
Dulu kue-kue buatan rumah, jarang sekali disimpan dalam stoples transparan seperti kue-kue masa kini. biasanya pemilik kue menyimpannya dalam kaleng-kaleng bekas biskuit. Sehingga saya dan kakak saya mempunyai lelucon saat berkunjung ke rumah orang untuk berlebaran. Kami seringkali main tebak-tebakan apa isi kaleng yang ada di atas meja: akar kelapa, biji ketapang, atau simping. Sekarang semuanya menjadi begitu transparan sehingga lelucon kami tidak berlaku lagi.
Dua tahun ini, saya berlebaran sebagai orang dewasa karena saya sudah bekerja. Kalau dulu saya hanya meminta uang ke ibu, sekarang saya yang harus memberikannya. Sebagai orang dewasa saya juga harus merelakan THR saya dibagi-bagikan ke keponakan, anak-anak kecil dan keluarga ibu bapak saya yang kurang beruntung. Tadinya saya berpikir ini seperti pekerja berpamer ria saja, namun ternyata ada maksud lain dari situ. Setidaknya saya melihat perubahan yang cukup menyenangkan hati saya.
Ibu saya dulunya melarat sekali. Hampir tiap lebaran ia hanya mempunyai ongkos untuk pergi ke rumah kakek saya di Kampung Gedong. Ia tidak pernah membagi-bagikan uang untuk keponakan atau anak-anak kecil karena tidak punya. Justru terkadang ia diberikan uang oleh saudaranya untuk ongkos pulang.
Tahun lalu, saya dan ibu saya mempunyai dompet bersama berisi uang yang kami bagikan. Saat membagikannya kami menyebut nama kami berdua. Tahun ini, dompet kami terpisah, ibu saya mempunyai anggaran sendiri dan saya mempunyai anggaran sendiri. Kami memberi keponakan-keponakan ibu saya dan anak-anak kecil sekitar rumah dengan anggaran sendiri-sendiri.
Sampai sini, saya tidak bermaksud untuk bersombong. Saya hanya terharu bahwa kehidupan kami semakin membaik. Betapa kebanggaan dan kebahagiaan berbinar di mata ibu saya lebaran ini. Saya tidak mungkin merusaknya. Saya menikmati lebaran ini untuk memahami kebahagiaan ibu saya. Mudah-mudahan ini cara lain memaknai lebaran.

No comments:

Post a Comment